Sejarah dan Asal Usul Karawang
PETA KABUPATEN KARAWANG |
Bila kita melihat
jauh ke belakang, ke masa Tarumanegara hingga lahirnya Kabupaten Karawang di
Jawa Barat, Berturut-turut berlangsung suatu pemerintahan yang teratur, baik
dalam system pemerintahan pusat (Ibu Kota). Pemegang kekuasaan yang berbeda,
seperti Kerajaan Taruma Negara (375-618) Kerajaan Sunda (Awal Abad VIII-XVI).
Termasuk pemerintahan Galuh, yang memisahkan diri dari kerajaan Taruma Negara,
ataupun Kerajaan Sunda pada tahun 671 M. Kerajaan Sumedanglarang (1580-1608,
Kasultanan Cirebon (1482 M) dan Kasultanan Banten ( Abad XV-XIX M).
Sekitar Abad XV M,
agama Islam masuk ke Karawang yang dibawa oleh Ulama
besar Syeikh Hasanudin bin Yusuf Idofi, dari Champa, yang terkenal dengan
sebutan Syeikh Quro, sebab disamping ilmunya yang sangat tinggi, beliau
merupakan seorang Hafidh Al-Quran yang bersuara merdu. Kemudian ajaran agama
islam tersebut dilanjutkan penyebarannya oleh para Wali yang disebut Wali
Sanga. Setelah Syeikh Quro Wafat, tidak diceritakan dimakamkan dimana. Hanya
saja, yang ada dikampung Pulobata, Desa Pulokalapa, Kecamatan Lemahabang Wadas,
Kabupaten Karawang, merupakan maqom (dimana Syech Quro pernah Tinggal).
Pada masa itu
daerah Karawang sebagian besar masih merupakan hutan belantara dan berawa-rawa.
Hal ini menjadikan apabila Karawang berasal dari bahasa Sunda. Ke-rawa-an
artinya tempat berawa-rawa. Nama tersebut sesuai dengan keadaan geografis
Karawang yang berawa-rawa, bukti lain yang dapat memperkuat pendapat tersebut.
Selain sebagian rawa-rawa yang masih tersisa saat ini, banyak nama tempat
diawali dengan kata rawa, seperti : Rawasari, Rawagede, Rawamerta, Rawagempol
dan lain-lain.
Keberadaan daerah
Karawang telah dikenal sejak Kerajaan Pajajaran yang berpusat di daerah Bogor.
Karena Karawang pada masa itu, merupakan jalur lalu lintas yang sangat penting
untuk menghubungkan Kerajaan Pakuan Pajajaran denga Galuh Pakuan, yang Berpusat
di Ciamis. Sumber lain menyebutkan, bahwa buku-buku Portugis (Tahun 1512 dan
1522) menerangkan bahwa : Pelabuhan-pelabuhan penting dari kerajaan Pajajaran
adalah : “ CARAVAN “ sekitar muara Citarum”, Yang disebut CARAVAN, dalam sumber
tadi adalah daerah Karawang, yang memang terletak sekitar Sungai Citarum.
Sejak dahulukala,
bila orang-orang yang bepergian akan melewati daerah-daerah rawa, untuk
keamanan, mereka pergi berkafilah-kafilah dengan menggunakan hewan seperti
Kuda, Sapi, Kerbau atau, Keledai. Demikian pula halnya yang mungkin terjadi
pada zaman dahulu, kesatuan-kesatuan kafilah dalam bahasa Portugis disebut “ CARAVAN
” yang berada disekitar muara Citarum sampai menjorok agak ke pedalaman
sehingga dikenal dengan sebutan “ CARAVAN “ yang kemudian berubah menjadi
Karawang. Dari Pakuan Pajajaran ada sebuah jalan yang dapat melalui Cileungsi
atau Cibarusah, Warunggede, Tanjungpura, Karawang, Cikao, Purwakarta, Rajagaluh
Talaga, Kawali, dan berpusat di kerajaan Galuh Pakuan di Ciamis dan
Bojonggaluh.
Luas Kabupaten
Karawang pada saat itu tidak sama dengan luas Kabupaten Karawang masa sekarang.
Pada saat itu Kabupaten Karawang meliputi Bekasi, Subang, Purwakarta dan
Karawang sendiri.
Setelah Kerajaan
Pajajaran runtuh pada tahun 1579 M, pada tahun 1580, berdiri Kerajaan
Sumedanglarang, sebagai penerus Kerajaan Pajajaran dengan Rajanya Prabu Geusan
Ulun, Putera Ratu Pucuk Umum (Disebut juga Pangeran Istri) dengan Pangeran
Santri Keturunan Sunan Gunung Jati dari Cirebon.
Kerajaan Islam
Sumedanglarang pusat pemerintahannya di Dayeuhluhur dengan membawahi Sumedang,
Galuh, Limbangan, Sukakerta dan Karawang. Pada tahun 1608 M, Prabu Geusan Ulum
wafat digantikan oleh puteranya Ranggagempol Kusumahdinata, putera Prabu Geusam
Ulum dari istrinya Harisbaya, keturunan Madura. Pada masa itu di Jawa Tengah
telah berdiri Kerajaan Mataram dengan Rajanya Sultan Agung (1613-1645), Salah satu
cita-cita Sultan Agung pada masa pemerintahannya adalah dapat menguasasi Pulau
Jawa dan menguasai Kompeni (Belanda) dari Batavia.
Rangggempol
Kusumahdinata sebagai Raja Sumedanglarang masih mempunyai hubungan keluarga
dengan Sultan Agung dan mengajui kekuasaan mataram. Maka pada tahun 1620,
Ranggagempol Kusumahdinata menghadap ke Mataram dan menyerahkan Kerajaan
Sumdeanglarang dibawah naungan Kerajaan Mataram, Sejak itu Sumedanglarang
dikenal dengan sebutan “PRAYANGAN”. Ranggagempol Kusumahdinata, oleh Sultan
Agung diangkat menjadi Bupati Wadana untuk tanah Sunda dengan batas-batas
wilayah disebelah Timur Kali Cipamali, sebelah Barat Kali Cisadane, dsebelah
Utara Laut Jawa dan, disebelah Selatan Laut Kidul. Karena Kerajaan
Sumedanglarang ada di bawah naungan Kerajaan Mataram, maka dengan sendirinya
Karawang pun berada di bawah kekuasaan Mataram.
Pada Tahun 1624
Ranggagempol Kusumahdinata wafat; dimakamkan di Bembem Yogyakarta. Sebagai
penggantinya Sultan Agung mengangkat Ranggagede, putra Prabu Geusan Ulun, dari
istri Nyimas Gedeng Waru dari Sumedang, Ranggagempol II, putra Ranggagempol
Kusumahdinata yang mestinya menerima Tahta Kerajaan. Merasa disisihkan dan
sakit hati. Kemudian beliau berangkat ke Banten, untuk meminta bantuan Sultan
Banten, agar dapat menaklukan Kerajaan Sumedanglarang. Dengan Imbalan apabila
berhasil, maka seluruh wilayah kekuasaan Sumedanglarang akan diserahkan kepada
Sultan Banten. Sejak itu Banyak tentara Banten yang dikirim ke Karawang
terutama di sepanjang Sungai Citarum, di bawah pimpinan Pangeran Pager Agung,
dengan bermarkas di Udug-udug.
Pengiriman bala
tentara Banten ke Karawang, dilakukan Sultan Banten, bukan saja untuk memenuhi
permintaan Ranggagempol II, tetapi merupakan awal usaha Banten untuk menguasai
Karawang sebagai persiapan merebut kembali Pelabuhan Banten, yang telah
dikuasai oleh Kompeni (Belanda) yaitu Pelabuhan Sunda Kelapa.
Masuknya tentara
Banten ke Karawang beritanya telah sampai ke Mataram, pada tahun 1624 Sultan
Agung mengutus Surengrono (Aria Wirasaba) dari Mojo Agung Jawa Timur, untuk
berangkat ke Karawang dengan membawa 1000 prajurit dan keluarganya, dari
Mataram melalui Banyumas dengan tujuan untuk membebaskan Karawang dari pengaruh
Banten. Mempersiapkan logistik dengan membangun gudang-gudang beras dan meneliti
rute penyerangan Mataram ke Batavia.
Di Banyumas, Aria
Surengrono meninggalkan 300 prajurit dengan keluarganya untuk mempersiapkan
Logistik dan penghubung ke Ibu kota Mataram. Dari Banyumas perjalanan
dilanjutkan dengan melalui jalur utara melewato Tegal, Brebes, Cirebon,
Indramayu dan Ciasem. Di Ciasem ditinggalkan lagi 400 prajurit dengan
keluarganya, kemudian perjalanan dilanjutkan lagi ke Karawang.
Setibanya di
Karawang, dengan sisa 300 prajurit dan keluarganya, Aria Surengrono, menduga
bahwa tentara Banten yang bermarkas di udug-udug, mempunyai pertahanan yang
sangat kuat, karena itu perlu di imbangi dengan kekuatan yang memadai pula.
Langkah awal yang
dilakukan Surengrono membentuk 3 (Tiga) Desa yaitu desa Waringinpitu
(Telukjambe), Parakan Sapi (di Kecamatan Pangkalan) yang kini telah terendam
air Waduk Jatiluhur ) dan desa Adiarsa (sekarang termasuk di Kecamatan
Karawang, pusat kekuatan di desa Waringipitu.
Karena jauh dan
sulitnya hubungan antara Karawang dan Mataram, Aria Wirasaba belum sempat melaporkan
tugas yang sedang dilaksanakan Sultan Agung. Keadaan ini menjadikan Sultan
Agung mempunyai anggapan bahwa tugas yang diberikan kepada Aria Wirasaba gagal
dilaksanakan.
Pengabdian Aria
Wirasaba selanjutnya, lebih banyak diarahkan kepada misi berikutnya yaitu
menjadikan Karawang menjadi “lumbung padi” sebagai persiapan rencana Sultan
Agung menyerang Batavia, disamping mencetak prajurit perang.
Di desa Adiarsa,
sangat menonjol sekali perjuangan keturunan Aria Wirasaba. Walaupun keturunan
Aria Wirasaba oleh Belanda hanya dianggap sebagai patih di bawah kedudukan
Bupati dari keturunan Singaperbangsa, tetapi ditinjau dari segi perjuangan
melawan Belanda, pantas mendapat penghargaan dan penghormatan.
Karena
perlawanannya terhadap Belanda, akhirnya Aria Wirasaba II ditangkap oleh
Belanda dan ditembak mati di Batavia, Kuburannya ada di Manggadua, di dekat
Makam Pangeran Jayakarta.
Putra Kedua Aria
Wirasaba, yang bernama Sacanagara bergelar Aria Wirasaba III, berpendirian sama
dengan Aria Wirasaba I dan II, tidk mau tunduk pada Belanda, serta tidak
meninggalkan misi sesepuhnya, yaitu memajukan pertanian rakyat, irigasi dan
syiar Islam.
Aria Wirasaba III
meninggalkan kedudukannya sebagai patih, karena dirasakannya hanya menjadi
jalur untuk menekan rakyatnya. Setelah wafat beliau dimakamkan di Kalipicung,
termasuk desa Adiarsa sekarang.
KEMATIAN
SINGAPERBANGSA
Kematian
Singaperbangsa, juga lebih diakibatkan oleh salah tafsir Raden Trunojoyo Bupati
Panarukan yang memberontak Pemerintahan Sunan Amangkurat I. Setelah Sultan
Agung meninggal dalam usia 55 tahun Sunan Amangkurat I sebagai Putera Mahkota
dilantik menjadi Raja di Mataram. Sebagai pengganti almarhum Ayahnya (Sultan
Agung) Sunan Amangkurat I tidak seidiologi dengan perjuangan Ayahnya Sunan
Amangkurat I sangat otoriter dan kejam terhadap rakyatnya.
Bahkan Istana
Mataram dijadikan Mataram tempat untuk mengeksekusi sekitar 300 ulama. Karena
dianggap sebagai pembangkang ulama-ulama pemimpin informal itu ditangkapi
secara massal, termasuk Eyang dan Ayahnya Trunojoyoyang mati ditangan Sunan
Amangkurat I.
Selama memerintah
Mataram, Sunan Amangkurat I lebih berpihak kepada Kompeni, hal itu membuat
rakyat Mataram marah besar. Tatkala Raden Trunojoyo memberontak bersama
tentaranya yang dipimpin Natananggala, spontan mendapat dukungan dari semua
pihak. Termasuk dari padepokan padepokan Islam Makasar, yang dipimpin Kraeng
Galesung.
Trunojoyo seorang
pemuda yang gagah dan berani, sehingga dalam waktu yang tidak terlalu lama,
Pemerintahan Amangkurat I dapat diruntuhkan. Kota Plered, Jawa Tengah sebagai
pusat Pemerintahan Mataram dapat dikuasai Trunojoyo. Sedangkan Sunan Amangkurat
I melarikan diri menuju Batavia, meminta bantuan Belanda, namun baru sampai di
Tegalarum (Tegal) Sunan Amangkurat I Meninggal. Namun sebelum meninggal, ia
sempat melantik putranya yakni Amangkurat II.
Amangkurat II
sebagai Raja Mataram, perjuangannya juga tidak sejalan denga Sultan Agung
(Eyangnya), ia lebih cenderung meneruskan perjuangan ayahnya yakni Sunan
Amangkurat I yang bekerjasama dengan Belanda, Ia tetap berusaha meminta bantuan
Kompeni, Ia meloloskan diri ke Batavia lewat Laut Utara.
Sementara
perjuangan Aria Wirasaba dan keturunannya, tetap konsisten terhadap perjuangan
Sultan Agung terdahulu, bahwa Karawang dijadikan lahan Pertanian Padi untuk
memenuhi logistik persiapan menyerang Batavia.
Namun Jika Masih
ada sebagian generasi sekarang, masih mempertanyakan nasib Aria Wirasaba, sebab
kalau mengacu kepada Pelat Kuning Kandang Sapi Besar, Pelantikan Wedana
setingkat Bupati, antara Singaperbangsa dan Aria Wirasaba, dilantik secara
bersamaan. Saat itu Singaperbangsa sebagai Bupati di Tanjungpura, sedangkan
Aria Wirasaba Bupati Waringipitu. Tapi mengapa kini Aria Wirasaba tidak masuk
catatan Administratif Pemerintah Daerah Kabupaten Karawang.
Perhatikan
perkataan Hoofd-Regent (Bupati Kepala) dan Tweeden-Regent (Bupati Kedua) memang
datang dari Belanda, yang menyatakan bahwa kedudukan Singaperbangsa lebih
tinggi dari Aria Wirasaba. Sebaliknya kalau kita perhatikan sumber kekuasaan
yang diterima kedua Bupati itu, yaitu Piagam Pelat Kuning Kandang Sapi Besar,
yang ditulis Sultan Agung tanggal 10 bulan Mulud Tahun Alip, sama sekali tidak
menyebut yang satu lebih tinggi dari lainnya “ Tapi dalam menyikapi hal ini,
kita pun harus lebih arif dan bijaksana, karena setiap peristiwa memiliki
situasi dan kondisi yang berbesa-beda itulah Sejarah “ (Sumber Suhud Hidayat
Dalam Buku Sejarah Karawang Versi Peruri Halaman 42-51).
Demi menjaga
keselamatan, Wilayah Kerajaan Mataram di sebelah Barat, pada tahun 1628 dan
1629 bala tentara kerajaan Mataram diperintahkan Sultan Agung untuk melakukan
penyerangan terhadap VOC (Belanda) di Batavia Namun serangan ini gagal karena
keadaan medan sangat berat berjangkitnya Malaria dan kekurangan persediaan
makanan.
Dari kegagalan itu,
Sultan Agung menetapkan daerah Karawang sebagai pusat Logistik, yang harus
mempunyai pemerintahan sendiri dan langsung berada dibawah pengawasan Mataram,
dan harus dipimpin oleh seorang pemimpin yang cakap dan ahli perang, mampu
menggerakan masyarakat untuk membangun pesawahan, guna mendukung pengadaan
logistic dalam rencana penyerangan kembali terhadap VOC (Belanda) di Batavia.
Pada tahun 1632,
Sultan Agung mengutus kembali Wiraperbangsa dari Galuh dengan membawa 1000
prajurit dan keluarganya menuju Karawang tujuan pasukan yang dipimpin oleh
Wiraperbangsa adalah membebaskan Karawang dari pengaruh Banten, mempersiapkan
logistik sebagai bahan persiapan melakukan penyerangan kembali terhadap VOC
(Belanda) di Batavia, sebagaimana halnya tugas yang diberikan kepada Aria
Wirasaba yang telah dianggap gagal.
Tugas yang
diberikan kepada Wiraperbangsa dapat dilaksanakan dengan baik dan hasilnya
dilaporkan kepada Sultan Agung atas keberhasilannya, Wiraperbangsa oleh Sultan
Agung dianugerahi jabatan Wedana (setingkat Bupati ) di Karawang dan diberi
gelar Adipati Kertabumi III, serta diberi hadiah sebilah keris yang bernama
“KAROSINJANG”.Setelah penganugerahan gelar tersebut yang dilakukan di Mataram,
Wiraperbangsa bermaksud akan segera kembali ke Karawang, namun sebelumnya
beliau singgah dulu ke Galuh, untuk menjenguk keluarganya. Atas takdir Ilahi
beliau wafat di Galuh, jabatan Bupati di Karawang, dilanjutkan oleh putranya
yang bernama Raden Singaperbangsa dengan gelar Adipati Kertabumi IV yang
memerintah pada tahun 1633-1677, Tugas pokok yang diemban Raden Adipati
Singaperbangsa, mengusir VOC (Belanda) dengan mendapat tambahan parjurit 2000
dan keluarganya, serta membangun pesawahan untuk mendukung Logistik kebutuhan
perang.
Hal itu tersirat
dalam piagam Pelat Kuning Kandang Sapi Gede yang bunyi lengkapnya adalah
sebagai berikut : “ Panget Ingkang piagem kanjeng ing Ki Rangga gede ing
Sumedang kagadehaken ing Si astrawardana. Mulane sun gadehi piagem, Sun Kongkon
anggraksa kagengan dalem siti nagara agung, kilen wates Cipamingkis, wetan
wates Cilamaya, serta kon anunggoni lumbung isine pun pari limang takes punjul
tiga welas jait. Wodening pari sinambut dening Ki Singaperbangsa, basakalatan
anggrawahani piagem, lagi lampahipun kiayi yudhabangsa kaping kalih Ki Wangsa
Taruna, ingkang potusan kanjeng dalem ambakta tata titi yang kalih ewu;
dipunwadanahaken ing manira, Sasangpun katampi dipunprenaharen ing Waringipitu
ian ing Tanjungpura, Anggraksa siti gung bongas kilen, Kala nulis piagem ing
dina rebo tanggal ping sapuluh sasi mulud tahun alif. Kang anulis piagemmanira
anggaprana titi “.
Terjemahan dalam
Bahasa Indonesia :
“Peringatan piagam
raja kepada Ki Ranggagede di Sumedang diserahkan kepada Si Astrawardana.
Sebabnya maka saya serahi piagam ialah karena saya berikan tugas menjaga tanah
negara agung milik raja. Di sebelah Barat berbatas Cipamingkis, disebelah Timur
berbatas Cilamaya, serta saya tugaskan menunggu lumbung berisi padi lima takes
lebih tiga belas jahit. Adapun padi tersebut diterima oleh Ki Singaperbangsa.
Basakalatan yang menyaksikan piagam dan lagi Kyai Yudhabangsa bersama Ki
Wangsataruna yang diutus oleh raja untuk pergi dengan membawa 2000 keluarga.
Pimpinannya adalah Kiayi Singaperbangsa serta Ki Wirasaba. Sesudah piagam
diterima kemudian mereka ditempatkan di Waringinpitu dan di Tanjungpura.
Tugasnya adalah menjaga tanah negara agung di sebelah Barat.
Piagan ini ditulis
pada hari Rabu tanggal 10 bulan mulud tahun alif. Yang menulis piagam ini ialah
anggaprana, selesai.
Tanggal yang
tercantum dalam piagam pelat kuningan kandang sapi gede ditetapkan sebagai hari
jadi Kabupaten Karawang berdasarkan hasil penelitian panitia sejarah yang
dibentuk dengan Surat Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Karawang nomor
: 170/PEM/H/SK/1968 tanggal 1 Juni 1968 yang telah mengadakan penelitian dari
pengkajian terhadap tulisan :
Dr. Brandes dalam “
Tyds Taal-land En Volkenkunde “ XXVIII Halaman 352,355, menetapkan tahun 1633;
Dr. R Asikin
Wijayakusumah dalam ‘ Tyds Taal-land En Volkenkunde “ XXVIII 1937 AFL, 2
halaman 188-200 (Tyds Batavissc Genot Schap DL.77, 1037 halaman 178-205)
menetapkan tahun 1633;
Batu nisan makam
panembahan Kiyai Singaperbangsa di Manggungjaya Kecamatan Cilamaya tertulis
huruf latin 1633-1677;
Babad Karawang yang
ditulis oleh Mas Sutakarya menulis tahun 1633.
Hasil Penelitian
dan pengkajian panitia tersebut menetapkan bahwa hari jadi Kabupaten Karawang
pada tanggal 10 rabi’ul awal tahun 1043 H, atau bertepatan dengan tanggal 14
September 1633 M atau Rabu tanggak 10 Mulud 1555 tahun jawa/saka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar