Makan Nasi Liwet |
Orang-orang hebat berpikir, bahwa untuk merubah Karawang menjadi lebih maju maka mereka harus menjadi bupati, wakil bupati atau ketua organisasi besar. Maka ramailah parpol dg antrian para pelamar Cabup,. "Jika ingin merubah Karawang maka kita harus masuk ke dalam sistem," demikian hujah mereka. Tak peduli soal integritas dan kapabilitas, yg penting PD jadi bupati di kota lumbung padi ini. Mereka merasa terpanggil untuk memimpin, tanpa pernah bertanya, siapa sebenarnya yg sudah memanggil mereka? Dan apakah panggilan itu harus selalu berujung pada sebuah jabatan?
Rakyat kecil memiliki cara unik dalam menjawab panggilan. Saat agama memanggil mereka untuk mencintai dan meneladani Rosul, sebagian diantara mereka membuat nasi liwet. Saban bulan Mulud menyapa, manusia Jawa tempo doeloe rutin menggelar acara selametan dengan hidangan nasi liwet atau nasi wuduk. Upacara tersebut dialamatkan kepada Kanjeng Nabi Muhammad agar mendapat berkah. Merujuk sumber tradisi lisan, utusan Gusti Pangeran itu gemar sekali menyantap nasi samin. Lantaran orang Jawa tak sanggup memasak nasi samin, maka dibuatlah tiruan yang hampir serupa, yakni nasi liwet.
Nasi Liwet |
Nasi liwet tidak cuma urusan cinta kepada Rosul, tapi juga sebuah upaya berkomunikasi dengan alam semesta. Serat Centini yg disusun tahun 1814-1823 menyinggung hal itu. Kitab yg merupakan karya sastra terbesar Jawa yg disebut juga Suluk Tambanglaras –Amongraga itu mengatakan Sega Liwet atau Nasi Liwet biasa dibuat manakala Pulau Jawa diguncang gempa. Entah bagaimana penjelasannya..........
Di tatar Sunda, nasi liwet juga sangat akrab dalam kehidupan masyarakat. Dalam kebudayaan Sunda, masak nasi liwet atau ngaliwet lebih membawa semangat kebersamaan dan persaudaraan. Manakala orang-orang berkumpul dan merasa lapar, mereka memilih masak nasi liwet. Nasinya pulen, nikmat, gurih, serta punya aroma sereh dan salam yang nendang bukan main. Apalagi kalau campurannya ikan teri, sambal kental dan jengkol goreng. Ikan bakar kalau ada.
Proses makan nasi liwet juga cukup menarik. Orang-orang duduk sejajar, sama rata sama tinggi. Tidak ada batasan. Guyub ngariung. Semuanya sama-sama menikmati masakan yg sama yg terhampar di atas sobekan daun pisang atau jati. Sungguh berbeda dg acara makan bareng para cabup dan pendukungnya yg biasanya berlangsung di resto-resto mewah di Jalur Interchange. Oleh sebab itu, dengan semangat egaliternya (kesetaraan) yg kuat, bisa jadi ngaliwet bukan hanya sebatas acara makan sederhana, tapi juga merupakan sebuah ruh bagi perubahan : Bahwa hanya dg semangat guyub dan kebersamaan Karawang maka bisa menjadi lebih baik. Persis bak prosesi makan nasi liwet di atas sobekan daun. (From Kopdar to Molor)
Posting ini di ambil dari : https://www.facebook.com/groups/forumkarawanginfo/
https://www.facebook.com/asep.ruhyani.10?fref=nf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar